Sabtu, 17 November 2012

Cerita Untuk Ayah Part I


Cerita untuk ayah

“Aku lihat mereka memakainya,” katanya. Dia meyerahkan bando dengan hiasan kupu-kupu pink yang terbuat dari kain flannel kepadaku. Sangat cantik.
“Bisakah Kakak berikan saja untuk Mbak Helsa? Hari ini ulang tahunnya.”
“Aku membelikannya untukmu.  Pakai saja. Kalau tidak mau, buang saja!”
Dia mengambil kaus oblong bekasnya. Menutup mulutnya dengan kaus itu dan segera berlalu dari hadapanku. Dia benar-benar mirip ninja.
Aku memandangnya dengan getir. Dia berjalan menjauhiku. Menuju petak-petak gubuk yang mengeluarkan asap kehitaman. Cerobong-cerobong dan asap yang keluar itu, tak ubahnya monster yang menutupi hamparan langit biru hingga menjadikannya kelabu, kecoklatan, dan kehitaman.
Sering aku berpikir, cukupkah hanya memakai kaus oblong bekas sebagai masker? Jika setiap harinya dia bekerja di peleburan logam. Udara yang dia hisap setiap detiknya sudah terpolusi logam. Aku sungguh mengkwatirkannya.
Ayah, laki-laki dua puluh tahun yang memberikan bando ini, dia kak Adib. Adib Parama Rafif, anak laki-lakimu. Apa saat ini ayah merindukannya? Dia tidak segemuk waktu ayah tinggalkan. Tubuhnya tak ubahnya pohon kelapa yang hangus terbakar. Setiap hari tubuhnya bau asap dan logam.
Dia yang selalu kau usap kepalanya kini tak pernah lagi ke sekolah. Aku masih ingat. Saat itu tahun ajaran baru. Hari pertama kak Adib masuk SMP terbaik, ayah membantunya memasangkan sepatu baru yang ayah belikan untuknya.
“Belajar yang rajin, jadilah anak pintar.” Itu yang ayah katakan padanya.
Apa ayah ingat hal itu? Lalu dengan sepeda ontel, ayah mengantar kak Adib ke sekolah. Masih jelas di benakku, ekspresi bahagia ayah. Juga kak Adib yang tak hentinya memamerkan gigi-giginya yang rata. Anak lak-laki kebanggan ayah. Benarkah ayah tak merindukannya?
Kak Adib, tak sekali pun mengingkari janjinya pada ayah.
Kau tahu ayah? Dia masih tetap belajar. Seringkali saat tengah malam aku terbangun, aku melihatnya membaca kamus bahasa Inggris. Pernah suatu kali melihat bukunya penuh dengan kata-kata seperti yang tertulis dalam kamus. Apa yang dia baca, dia salin ke bukunya. Pernahkah ayah bertanya padanya tentang cita-citanya?
“Apa yang Kak Adib tulis?”  tanyaku yang saat itu masih kelas dua SD sedangkan kak Adib kelas satu SMP.
“Cita-cita. Semua yang aku tulis ini adalah cita-citaku.”
Aku diam sejenak, membaca apa yang ditulis Kakakku. Hingga pada daftar kesepuluh, aku menatapnya seraya bertanya. “Melihat Liberty? Apa itu? ada di mana?”
Kak Adib membuka buku paket bahasa Inggrisnya, menunjukkan padaku gambar patung Liberty. “Ini Liberty, adanya di Amerika. Sangat jauh dari sini.”
Petak-petak gubuk itu masih mengepulkan asap hitam. Membumbung tinggi hingga kubah langit menjadi pekat. Juga suara gemuruh tungku yang menyala hingga 500 derajat celcius. Kak Adib tengah beristirahat di bawah pohon bambu. Seperti biasa, satu gelas soda plus susu ada ditangannya.
Kulitnya hitam, berkeringat, dan mengoarkan bau logam. Tempat peleburan logam tempat dia bekerja telah memudarkan ketampanannya. Betapa dulu dia terlihat tampan dengan seragam SMP-nya. Bahkan sangat tampan ketika dia memakai baju koko saat hendak berangkat ke  madrasah. Kuku-kukunya selalu terlihat bersih. Aroma tubuhnya selalu wangi. Rambutnya selalu rapi dan tangannya begitu lembut.
“Mengapa diam? Ada apa kau kemari?” tanyanya masih dengan wajah dingin tanpa senyum.
“Aku butuh uang untuk beli LKS,” jawabku langsung ke pokok masalah.
Dia merogoh celananya yang penuh debu. Mengambil uang dua puluh ribu dan memberikannya padaku. “Belajar yang rajin dan jadilah dokter.”
Bisakah ayah merasakan betapa lelahnya kak Adib? Setiap hari dia bekerja di tempat peleburan logam tradisional. Tanpa pakaian kerja yang layak. Bergumul dengan asap yang mengandung logam berat. Setiap detik paru-parunya terisi oleh asap berbahaya. Dia pasti sangat susah menarik tarikan nafasnya saat bekerja.
Kau tahu ayah? Aku berbohong padanya. Uang ini akan aku belikan masker untuknya. Bagaimana bisa dia tidak peduli kesehatannya. Kak Adib, dia tidak takut tangannya melepuh, tapi takut aku tidak bisa bersekolah. Dia bukan orang yang takut terkena asma akut, tapi dia takut aku kelaparan. Takut aku tidak memakai seragam sekolah, takut aku tidak belajar, dan takut aku tidak memiliki cita-cita.
Aku memberinya masker yang kubeli saat kak Adib hendak berangkat kerja. “Pakailah saat bekerja,” ujarku.
“Kau tahu kau berbuat salah? Kau membohongiku!” katanya tegas setelah mengambil masker dari tanganku.
Apa ayah pernah melihatnya marah? Barangkali saat ini Kak Adib marah padaku. Sungguh bukan maksudku tidak berkata jujur padanya. Aku ingin dia memerhatikan kesehatannya. Bagaimana mungkin ada seseorang yang tidak memikirkan dirinya sendiri. Ayah, kak Adib bahkan tak pernah membeli baju baru. Uang hasil kerjanya dia belikan buku untukku.
“Jadilah nomor satu. Kau tidak akan direndahkan orang lain,” tutur kak Adib sewaktu memberiku buku Ensiklopedi Sains dan Kehidupan.
“Ensiklopedi? Bukankah ini sangat mahal?”
“Ya, sangat mahal. Maka dari itu jangan malas belajar.”
Ayah aku sungguh terharu. Aku tak menyangka, kak Adib yang hanya lulusan SMP memberiku buku ensiklopedi. Ayah pasti bangga padanya. Dia tak pernah lelah menjagaku. Tak pernah bosan menabung supaya aku memiliki banyak buku untuk aku baca. Terkadang aku merasa bersalah padanya. Sungguh aku telah berusaha menjadi nomor satu, tapi aku hanya bisa menjadi nomor sepuluh di kelas. Aku tak mendapat nilai sempurna untuk matematika, selalu kesulitan menghafal nama-nama latin, juga merasa tekanan darahku naik tiap kali ada pelajaran fisika. Aku juga takut memegang pisau bedah saat praktikum biologi, aku tak suka bekerja dengan mikroskop.
Ingin kukatakan semuanya pada kakakku. Bahwa aku senang bekerja dengan pena dan kertas. Aku suka membuat artikel untuk mading, suka menulis cerita, dan suka menulis puisi. Mataku tak akan lelah meskipun berjam-jam membaca Sang Pemimpi. Tanganku tak akan gemetar meskipun telah kutulis beratus-ratus bait puisi. Ayah, kukatakan satu rahasia padamu. Sebenarnya  aku tidak bercita-cita menjadi dokter. Ayah, salahkan seandainya aku menginginkan menjadi penulis?
Ayah pasti masih ingat. Kak Adib selalu menjadi nomor satu, tak pernah menjadi nomor dua, tiga, empat, atau sepuluh. Dia selalu menjadi bintang kelas. Aku masih ingat apa yang kau katakana padanya, saat Kak Adib pulang membawa piagam peghargaan atas prestasinya.
“Teruslah menjadi nomor satu. Kau tidak akan dinjak-injak orang,” katamu seraya menepuk-nepuk pundak Kak Adib.
Jika ayah melihatnya saat ini. Apa yang akan ayah katakan padanya? Dia menjadi pelebur logam. Setiap hari berkutat dengan berbgai bahan limbah logam. Tutup botol, kawat bekas, onderdil jam rusak, elemen aki atau apa pun yang berbahan baku timah atau aluminium. Tubuhnya harus mampu menahan hawa panas dari tunggku besar dengan panas hingga lima ratus derajat celsius. Tidakkah ayah merasa bersalah padanya? Pernah aku berkata padanya. Hari itu, saat aku lulus SD.
“Kak, aku tak usah sekolah saja. Aku kerja saja, Kakak lanjutlah SMA,” ujarku hati-hati.
“Hapus saja pikiranmu itu. Bagaimana nanti kau mendidik anakmu jika kau bodoh. Kau mau hanya menjadi penjual bakwan?”
“Tapi, Kak…”
“Aku sudah pintar, jadi tak perlu sekolah lagi!” jawabnya gusar.
Tidakkah ayah tersentuh dengan pengorbanan kak Adib? Dia rela tak bersekolah. Dia lebih memilih menjadi pelebur logam supaya aku bisa sekolah. Aku tahu dia rindu bersekolah. Kerap, aku melihatnya membaca buku-buku SMP nya. Pernah saat dia mengantarku, aku melihat matanya lekat memandangi gedung SMA terbaik di kotaku. Pasti dulu dia ingin bersekolah di sana. 

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar