Cerita untuk ayah
“Aku lihat
mereka memakainya,” katanya. Dia meyerahkan bando dengan hiasan kupu-kupu pink
yang terbuat dari kain flannel kepadaku. Sangat cantik.
“Bisakah
Kakak berikan saja untuk Mbak Helsa? Hari ini ulang tahunnya.”
“Aku
membelikannya untukmu. Pakai saja. Kalau tidak mau, buang saja!”
Dia
mengambil kaus oblong bekasnya. Menutup mulutnya dengan kaus itu dan segera
berlalu dari hadapanku. Dia benar-benar mirip ninja.
Aku
memandangnya dengan getir. Dia berjalan menjauhiku. Menuju petak-petak gubuk
yang mengeluarkan asap kehitaman. Cerobong-cerobong dan asap yang keluar itu,
tak ubahnya monster yang menutupi hamparan langit biru hingga menjadikannya
kelabu, kecoklatan, dan kehitaman.
Sering aku
berpikir, cukupkah hanya memakai kaus oblong bekas sebagai masker? Jika setiap
harinya dia bekerja di peleburan logam. Udara yang dia hisap setiap detiknya
sudah terpolusi logam. Aku sungguh mengkwatirkannya.
Ayah,
laki-laki dua puluh tahun yang memberikan bando ini, dia kak Adib. Adib Parama
Rafif, anak laki-lakimu. Apa saat ini ayah merindukannya? Dia tidak segemuk
waktu ayah tinggalkan. Tubuhnya tak ubahnya pohon kelapa yang hangus terbakar.
Setiap hari tubuhnya bau asap dan logam.
Dia yang
selalu kau usap kepalanya kini tak pernah lagi ke sekolah. Aku masih ingat.
Saat itu tahun ajaran baru. Hari pertama kak Adib masuk SMP terbaik, ayah
membantunya memasangkan sepatu baru yang ayah belikan untuknya.
“Belajar
yang rajin, jadilah anak pintar.” Itu yang ayah katakan padanya.
Apa ayah
ingat hal itu? Lalu dengan sepeda ontel, ayah mengantar kak Adib ke sekolah.
Masih jelas di benakku, ekspresi bahagia ayah. Juga kak Adib yang tak hentinya
memamerkan gigi-giginya yang rata. Anak lak-laki kebanggan ayah. Benarkah ayah
tak merindukannya?
Kak Adib,
tak sekali pun mengingkari janjinya pada ayah.
Kau tahu
ayah? Dia masih tetap belajar. Seringkali saat tengah malam aku terbangun, aku
melihatnya membaca kamus bahasa Inggris. Pernah suatu kali melihat bukunya
penuh dengan kata-kata seperti yang tertulis dalam kamus. Apa yang dia baca,
dia salin ke bukunya. Pernahkah ayah bertanya padanya tentang cita-citanya?
“Apa yang
Kak Adib tulis?” tanyaku yang saat itu masih kelas dua SD sedangkan kak
Adib kelas satu SMP.
“Cita-cita.
Semua yang aku tulis ini adalah cita-citaku.”
Aku diam
sejenak, membaca apa yang ditulis Kakakku. Hingga pada daftar kesepuluh, aku
menatapnya seraya bertanya. “Melihat Liberty? Apa itu? ada di mana?”
Kak Adib
membuka buku paket bahasa Inggrisnya, menunjukkan padaku gambar patung Liberty.
“Ini Liberty, adanya di Amerika. Sangat jauh dari sini.”
Petak-petak
gubuk itu masih mengepulkan asap hitam. Membumbung tinggi hingga kubah langit
menjadi pekat. Juga suara gemuruh tungku yang menyala hingga 500 derajat
celcius. Kak Adib tengah beristirahat di bawah pohon bambu. Seperti biasa, satu
gelas soda plus susu ada ditangannya.
Kulitnya
hitam, berkeringat, dan mengoarkan bau logam. Tempat peleburan logam tempat dia
bekerja telah memudarkan ketampanannya. Betapa dulu dia terlihat tampan dengan
seragam SMP-nya. Bahkan sangat tampan ketika dia memakai baju koko saat hendak
berangkat ke madrasah. Kuku-kukunya selalu terlihat bersih. Aroma
tubuhnya selalu wangi. Rambutnya selalu rapi dan tangannya begitu lembut.
“Mengapa
diam? Ada apa kau kemari?” tanyanya masih dengan wajah dingin tanpa senyum.
“Aku butuh
uang untuk beli LKS,” jawabku langsung ke pokok masalah.
Dia merogoh
celananya yang penuh debu. Mengambil uang dua puluh ribu dan memberikannya
padaku. “Belajar yang rajin dan jadilah dokter.”
Bisakah ayah
merasakan betapa lelahnya kak Adib? Setiap hari dia bekerja di tempat peleburan
logam tradisional. Tanpa pakaian kerja yang layak. Bergumul dengan asap yang
mengandung logam berat. Setiap detik paru-parunya terisi oleh asap berbahaya.
Dia pasti sangat susah menarik tarikan nafasnya saat bekerja.
Kau tahu
ayah? Aku berbohong padanya. Uang ini akan aku belikan masker untuknya.
Bagaimana bisa dia tidak peduli kesehatannya. Kak Adib, dia tidak takut
tangannya melepuh, tapi takut aku tidak bisa bersekolah. Dia bukan orang yang
takut terkena asma akut, tapi dia takut aku kelaparan. Takut aku tidak memakai
seragam sekolah, takut aku tidak belajar, dan takut aku tidak memiliki
cita-cita.
Aku
memberinya masker yang kubeli saat kak Adib hendak berangkat kerja. “Pakailah
saat bekerja,” ujarku.
“Kau tahu
kau berbuat salah? Kau membohongiku!” katanya tegas setelah mengambil masker
dari tanganku.
Apa ayah
pernah melihatnya marah? Barangkali saat ini Kak Adib marah padaku. Sungguh
bukan maksudku tidak berkata jujur padanya. Aku ingin dia memerhatikan kesehatannya.
Bagaimana mungkin ada seseorang yang tidak memikirkan dirinya sendiri. Ayah,
kak Adib bahkan tak pernah membeli baju baru. Uang hasil kerjanya dia belikan
buku untukku.
“Jadilah
nomor satu. Kau tidak akan direndahkan orang lain,” tutur kak Adib sewaktu
memberiku buku Ensiklopedi Sains dan Kehidupan.
“Ensiklopedi?
Bukankah ini sangat mahal?”
“Ya, sangat
mahal. Maka dari itu jangan malas belajar.”
Ayah aku
sungguh terharu. Aku tak menyangka, kak Adib yang hanya lulusan SMP memberiku
buku ensiklopedi. Ayah pasti bangga padanya. Dia tak pernah lelah menjagaku.
Tak pernah bosan menabung supaya aku memiliki banyak buku untuk aku baca.
Terkadang aku merasa bersalah padanya. Sungguh aku telah berusaha menjadi nomor
satu, tapi aku hanya bisa menjadi nomor sepuluh di kelas. Aku tak mendapat
nilai sempurna untuk matematika, selalu kesulitan menghafal nama-nama latin,
juga merasa tekanan darahku naik tiap kali ada pelajaran fisika. Aku juga takut
memegang pisau bedah saat praktikum biologi, aku tak suka bekerja dengan
mikroskop.
Ingin
kukatakan semuanya pada kakakku. Bahwa aku senang bekerja dengan pena dan
kertas. Aku suka membuat artikel untuk mading, suka menulis cerita, dan suka
menulis puisi. Mataku tak akan lelah meskipun berjam-jam membaca Sang
Pemimpi. Tanganku tak akan gemetar meskipun telah kutulis beratus-ratus
bait puisi. Ayah, kukatakan satu rahasia padamu. Sebenarnya aku tidak
bercita-cita menjadi dokter. Ayah, salahkan seandainya aku menginginkan menjadi
penulis?
Ayah pasti
masih ingat. Kak Adib selalu menjadi nomor satu, tak pernah menjadi nomor dua,
tiga, empat, atau sepuluh. Dia selalu menjadi bintang kelas. Aku masih ingat
apa yang kau katakana padanya, saat Kak Adib pulang membawa piagam peghargaan
atas prestasinya.
“Teruslah
menjadi nomor satu. Kau tidak akan dinjak-injak orang,” katamu seraya
menepuk-nepuk pundak Kak Adib.
Jika ayah
melihatnya saat ini. Apa yang akan ayah katakan padanya? Dia menjadi pelebur
logam. Setiap hari berkutat dengan berbgai bahan limbah logam. Tutup botol,
kawat bekas, onderdil jam rusak, elemen aki atau apa pun yang berbahan baku
timah atau aluminium. Tubuhnya harus mampu menahan hawa panas dari tunggku
besar dengan panas hingga lima ratus derajat celsius. Tidakkah ayah merasa
bersalah padanya? Pernah aku berkata padanya. Hari itu, saat aku lulus SD.
“Kak, aku
tak usah sekolah saja. Aku kerja saja, Kakak lanjutlah SMA,” ujarku hati-hati.
“Hapus saja
pikiranmu itu. Bagaimana nanti kau mendidik anakmu jika kau bodoh. Kau mau
hanya menjadi penjual bakwan?”
“Tapi, Kak…”
“Aku sudah
pintar, jadi tak perlu sekolah lagi!” jawabnya gusar.
Tidakkah
ayah tersentuh dengan pengorbanan kak Adib? Dia rela tak bersekolah. Dia lebih
memilih menjadi pelebur logam supaya aku bisa sekolah. Aku tahu dia rindu
bersekolah. Kerap, aku melihatnya membaca buku-buku SMP nya. Pernah saat dia
mengantarku, aku melihat matanya lekat memandangi gedung SMA terbaik di kotaku.
Pasti dulu dia ingin bersekolah di sana.
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar