“Kau harus
bisa masuk ke situ. Itu sekolah paling baik di sini,” ucapnya seraya mengangkat
telunjuknya pada bangunan besar itu.
Di luar
hujan telah reda. Meninggalkan kabut tipis yang menggantung di udara. Juga hawa
dingin yang menembus pori-pori. Kak Adib tak lagi marah padaku. Dia bahkan
sempat tersenyum untukku sebelum pergi ke surau. Senyum itu aku sering
melihatnya saat langit mulai jingga. Sore hari ketika dari balik jendela ruang
tamu Kak Adib melihat Mbak Helsa pulang kerja. Ayah, aku beri tahu satu hal.
Kak Adib menyukai Mbak Helsa.
Wajah kak
Adib akan berseri lantaran mbak Helsa menyapanya. Pernah suatu kali mbak Helsa
datang ke rumah dan ayah tahu apa yang dilakukan kak Adib? Dia tak berani
menemuinya. Kak Adib, berpura-pura tidur dan aku tahu itu.
“Mana
kakakmu?”
“Kelihatannya
sedang tidur. Mau kupanggilkan?”
“Ah, tidak
usah. Kita ngobrol berdua saja.”
Aku bisa
memahami kak Adib. Pria mana yang tidak jatuh hati pada mbak Helsa. Acap kali
dia mengirimi kami kue buatannya. Air mukanya bening, mata besar dengan iris
hitam. Tulang hidung yang meliuk panjang, dan lekuk kecil di pipi kirinya saat
dia tersenyum. Tapi, apa ayah tahu? Mbak Helsa tidak tahu kalau Kak Adib
menyukainya. Itu karena Kak Adib tak pernah memberitahukannya.
Ayah, apakah
orang seperti kak Adib tidak berhak mencintai perempuan seperti mbak Helsa?
Andai aku mampu berkata pada mbak Helsa betapa kak Adib menyayanginya. Suatu
hari, pada Senin sore yang dingin setelah seharian hujan, mbak Helsa
terpeleset. Ayah tahu apa yang dilakukan Kak Adib? Esoknya, saat sisa-sisa
hujan tadi malam masih terasa, kak Adib menyapu jalan depan rumah. Membersihkan
daun-daun yang licin jika terinjak. Setiap pagi sampai musim hujan berlalu.
Lalu saat
Minggu siang, pada musim kemarau dengan sinar matahari yang memanggang
punggung. Aku melihat kak Adib mengamati mbak Helsa yang tengah menunggu
angkutan umum dari jendela ruang tamu. Aku tengah sibuk mengejerkan PR
matematikaku saat tiba-tiba aku mendengar bunyi sesuatu jatuh. Mbak Helsa
pingsan.
“Sudah
kukatakan padanya untuk tidak pergi. Tapi dia ngotot, katanya hari ini
pernikahan sabahabat baiknya. Dia harus datang. Padahal tubuhnya masih lemah,
sudah dua hari dia demam,” tutur ibu Mbak Helsa sesaat setelah Kak Adib
membaringkan Mbak Helsa di atas kursi ruang tamu.
Seketika itu
kulihat wajah kak Adib pucat. Aku dapat merasakan kegelisahan hatinya. Senyum
di wajahnya yang tadi pagi kulihat kini memudar, berganti dengan gemetar bibir
seorang dewasa yang amat ketakukan akan kehilangan seseorang yang dicintainya.
Setelah lama
kami terdiam, pelan kukatan padanya. “Mbak Helsa akan baik-baik saja. Dia hanya
demam.”
Apa ayah
bisa menduga apa yang terjadi setelah kejadian hari itu? Siang itu matahari
bersinar sempurna. Aku takjub melihat gubuk kecil beratap daun kelapa kering
tiba-tiba ada di seberang rumahku. Dan aku tahu siapa yang membuatnya, saat aku
melihat jempol kiri kak Adib memar kebiruan. Saat aku datang dia sedang
meniup-niup jempolnya.
“Jadi,
seharian Kakak membuatnya?”
“Bagus
bukan?” balasnya singkat seraya mengibas-ibaskan tangan kirinya.
Ingin
kukatakan semuanya pada mbak Helsa. Semua yang telah dilakukan kakakku
untuknya. Semua rasa bahagia yang dirasakan kakaku saat bersama mbak Helsa.
Semua rasa sakit yang dirasakan kakaku jika satu hari saja Mbak Helsa tak
menyapanya. Pagi ini aku dan mbak Helsa duduk di gubuk sembari menunggu
angkutan umum.
“Sekarang
kita tak perlu takut kepanasan atau kehujanan,” ujarku mengawali pembicaraan.
“Kau benar
Afrah. Apa kau tahu siapa yang membuatnya? Baru satu hari aku tak ke luar
rumah. Tiba-tiba saja ada gubuk ini.”
Belum sempat
aku menjawab dan mengatakan semuanya Kak Adib menghampiri kami. “Kau tahu apa
yang akan aku lakukan, jika kau mengatakan semuanya kan?” ujar Kak Adib seraya
mengedipkan mata padaku. Tidak ada tanda-tanda dia bercanda. Itu kedipan
peringatan.
Ayah, hari
ini aku mendengarnya lagi. Kabar bahwa kau meninggalkan kami, mencampakan kami,
dan mungkin telah melupakan kami. Bang Jono, si tukang becak itu sering
berkata, anaknya si Udin pernah melihatmu bersama seorang anak kecil dan
perempuan yang tengah mengandung. Ayah, kau tak usah khawatir. Aku tak
memercainya. Mas Udin pasti salah lihat. Itu hanya orang yang mirip Ayah. Jadi,
ayah tenang saja.
Dulu ayah
berkata, ayah hanya pergi sebentar ke Jakarta? Ayah menjual becak dan
memberikan uang hasil penjual pada Kak Adib. Ayah bilang akan pulang setelah
tiga hari. Pernahkah ayah mengitung sudah berapa lama ayah pergi? Sudah lima
kali Ramadhan ayah pergi. Sadarkah ayah, waktu itu aku baru sepuluh tahun dan
kak Adib lima belas tahun? Lalu, sekarang ini apa hidup ayah di Jakarta
baik-baik saja? Enakkah hidup di sana hingga tak ada rindu sedikit pun pada
kami, juga kampung halaman? Apa ayah makan dengan baik? Apa ada yang menjaga
ayah? Di sana ayah kerja apa? Mengapa sama sekali tak ada kabar? Mengapa tak
mengabari kami? Apa ayah akan segera pulang?
Waktu umurku
dua belas tahun, kak Adib pernah berkata. “Ayah akan pulang, dia hanya sedang
tersesat.”
Sulitkah
bagi ayah menemukan jalan pulang? Ayah, kau hanya perlu naik bus dan turun di
terminal Slawi. Lalu naiklah angkutan umum bercat kuning jurusan Adiwerna.
Kalau ayah lelah, ayah naiklah becak menuju desa Pesarean. Atau kalau ayah tak
suka naik bus. Naiklah kereta api.
Masih
ingatkah ayah dengan rumah yang ayah bangun? Rumah itu masih sama, tak banyak
berubah. Ayah masih bisa melihat ayunan di bawah pohon mangga yang dulu ayah
buatkan untukku. Pernahkah ayah merindukan saat itu? Waktu ayah memangkuku,
duduk di ayunan, dan ayah bercerita Ande-Ande Lumut. Ayah juga masih bisa
melihat pohon jambu yang dulu ayah tanaman bersama Kak Adib. Pohon jambu itu
kini sudah besar dan telah berbuah. Dengan sangat menyesal harus kukatkan pada
ayah bahwa ayah tak bisa melihat si Koko. Jago itu sudah Kak Adib jual untuk
membeli sepatu olahraga untukku.
Ayah,
meskipun kau tak bisa melihat si Koko. Aku punya sesuatu yang lebih indah untuk
kuperlihatkan padamu, Pink Adenium. Mbak Helsa yang memberikannya sebagai
hadiah ulang tahunku tahun lalu. Apa ayah pernah melihatnya? Bunga adenium
berwarna merah muda bersemu putih, dengan semburat kuning ditengahnya yang
terlihat anggun. Kelopaknya sungguh sehalus sutera, cantik sekali. Aku jadi
teringat cerita ayah, kata ayah benda yang tepat untuk menggambarkan ibu adalah
bunga.
“Mbak Helsa
secantik bunga ini. Benar kan Kak?” tanyaku pada Kak Adib ketika kami duduk di
teras seraya memandangi adenium yang baru dua hari ada di halam rumahku.
Kak Adib
hanya mengangguk pelan. Sempat kudengar dia membuang nafas. Entah apa artinya.
Aku tak bertanya lagi tentang pendapatnya.
“Bisakah
Kakak berjanji untuk tidak meninggalkanku? Kita rawat bunga itu sama-sama.
Janji, ya.”
Setiap hari
kutanamankan keyakinan dalam hatiku. Ayah tidak akan melupakan janji ayah
padaku. Aku selalu terkenang-kenang waktu itu. Ayah menggendongku setelah kita
salat tarawih berjamaah di surau. Ayah bilang akan selalu menjaga kami. Tak
akan pergi jauh. Apa ayah tahu? hatiku sungguh sakit jika mengingat hal itu.
Ayah tahu kan? Kalau bumi itu bulat. Itu yang membuatku yakin kalau ayah akan
pulang. Ayah hanya sedang tersesat. Sejauh apa pun ayah pergi, ayah pasti
pulang. Aku percaya itu.
Oya, ayah.
Aku lupa menceritakannya padamu. Ini tentang aku yang sudah remaja. Sekarang
aku kelas satu SMA. Apa ayah tak ingin melihatku? Dulu saat ayah pergi dari
rumah usiaku sepuluh tahun. Berarti sudah lima tahun ayah tak pulang. Bukankah
itu waktu yang cukup lama? Sekarang aku bukan gadis kecil lagi. Bisakah ayah
bayangkan seperti apa aku sekarang? Aku pikir, aku sangat mirip dengan ibu
waktu muda. Dagu runcing dengan bibir tipis seperti milik ibu. Bola mata besar
dengan iris kecoklatan dan bulu mata hampir membentuk huruf U serupa milik ibu.
Alis mata panjang yang melengkung indah, hidung jambu air, juga rambut
bergelombang hitam legam seperti milik ibu.
Aku tak
tahu, apakah ini harus kuceritakan pada ayah. Sejujurnya aku sangat malu
menceritakannya. Kali pertama bertemu dengannya di koridor sekolah. Waktu itu
aku hendak ke ruang mading. Tanpa malu dan ragu, dia mencengkeram tanganku lalu
berkata. “Tali sepatumu.”
“Oh, ya
terima kasih,” balasku setelah merapikan ikatan tali sepatuku yang sempat
terlepas.
Saat aku
selesai, dia menatapku untuk beberapa detik. Sempat kulihat dia mengulum senyum
dan entah apa yang terjadi dengan hatiku. Sepasang bola matanya memantulkan
wajahku di dalamnya. Alis mata tebal seperti bentangan sayap elang. Juga gigi
gingsulnya yang membuatnya manis saat dia tersenyum. Semuanya membuat napasku
tercekat.
Saat siang
tidak terlalu panas dengan bercak tipis awan yang memenuhi langit, itu kali
kedua aku bertemu dengannya. Di toko buku dekat sekolah. Aku mencoba acuh tak
acuh, tak menyapanya duluan. Sejujurnya aku takut dia tak mengenaliku, tapi aku
sangat penasaran dengan buku yang tengah dibacanya. Dengan ekor mataku
aku mencoba membaca tulisan di cover buku itu, hanya kata sea yang bisa terbaca
dari tempatku berdiri. Kemudian ketika tatapan pemangsanya kembali menatapku,
napasku tertahan.
“Aduh mati
aku,” bisikku dalam hati. Aku membeku di tempatku berdiri.
“The Old
Man and The Sea, karya Ernest Hemingway.“ Seolah mengerti pikiranku dia
menunjukkan bukunya padaku.
Ketika hujan
bulan Juli pertama turun, kami resmi berkenalan. Dia mengulurkan tangannya
padaku. “Aidan…Aidan Javas Ipyana,” katanya. Aku bisa melihat jari-jarinya yang
panjang dan kurus. Telapak tangannya terasa dingin. Menyentakkan aliran darah
dalam tubuhku. Saat itu terasa olehku, langit begitu biru, rumput begitu hijau,
dan rinai-rinai hujan yang memantul di tanah mengeluarkan irama.
Ayah, aku
jadi ingin mendengar ceritamu. Bagaiman ayah bertemu dengan ibu? Kapan dan di
mana kalian bertemu? Ayah belum sempat menceritakannya padaku. Saat ayah pulang
nanti, maukah ayah bercerita untukku?
Tak pernah
kehilangan senyumnya, hingga hari itu tiba. Pada suatu pagi dengan kicauan
burung untuk mengawali hari. Hari itu, ibu Aidan meninggal setelah sebelumnya
koma akibat kanker payudara. Kami takziyah ke rumahnya. Matanya masih berembun
saat aku datang. Ayah tahu? sejak hari itu, tak pernah kulihat senyum dari
bibirnya.
Sepuluh hari
setelah ibunya dimakamkan, saat aku datang ke rumahnya dia tengah menangis.
Melihatnya hatiku seperti terparut. Sungguh aku ingin mengahapus air matanya,
menyandarkan kepalanya di bahuku, dan berkata semua akan baik-baik saja, tapi
aku tak perlu melakukannya. Ayahnya, sudah ada di sampingnya. Menguatkannya.
Merangkulnya dan mengelus punggungnya. “Tidak akan ada masalah. Ayah
bersamamu.”
Sejak itu
dia lebih suka menyendiri dan tak peduli orang lain. Raut muka itu,
mengingatkanku pada saat kita kehilangan ibu. Kesedihan dari wajahnya adalah
wajah ayah saat itu. Kini kami sama-sama tidak beribu, tapi apa ayah tahu yang
membedakannya denganku? Ayahnya tak sekali pun meninggalkannya. Ayahnya,
menemani masa-masa remajanya. Ayahnya berusaha membuat dia kembali bersemangat
menjalani hidup. Sungguh bukan maksudku membandingkan ayah dengan ayahnya. Aku
tahu bahwa cintaku pada ayah tak akan pernah sebanding dengan apa yang telah
ayah lakukan untukku.
Sewaktu aku
bayi, entah berapa banyak aku menggangu tidur nyenyak ayah. Entah berapa kali
tangan ayah yang bersih membersihkan kotoranku. Entah berapa banyak keringat
yang ayah keluarkan saat mengayuh becak hanya demi aku anakmu bisa menikmati
susu formula. Aku tak bisa menghitung butiran air mata ayah saat ayah bersimpuh
di hadapan-Nya untuk mendoakanku. Tak terbayangkan olehku bahwa hati ayah
terluka saat aku sakit. Ayah, aku bahkan belum membahagiakan ayah. Pulanglah,
Yah. Aku takut tak punya waktu untuk berbakti padamu. Aku janji aku akan
menjadi nomor satu. Akan aku lakukan demi ayah. Aku janji.
“Kakak bisa
mendengarku? Bangunlah dan minum obat ini.” Pelan kusentuh kening Kakaku dan
sekali lagi membangunkannya. “Kumohon Kakak bangun dan minumlah obat.”
Ayah, saat
ini kak Adib sakit. Sudah seminggu dia demam, kata dokter infeksi saluran
pernapasan atas. Bisakah ayah bayangkan berapa banyak udara beracun yang masuk
paru-parunya setiap harinya? Udara yang memenuhi rongga paru-parunya telah
terpolusi debu logam dari industri pengecoran dan peleburan logam tempatnya
bekerja.
Aku sungguh
takut, ayah. Aku takut dia tidak menepati janjinya untuk tak meninggalkanku.
Aku sungguh takut. Aku takut sendiri. Aku takut sebatang kara di usiaku yang
belia. Benar-benar takut hingga tubuhku gemetar. Sekuat tenaga kutahan
agar aku tak menangis hingga dadaku sesak. Aku ingat hari itu, saat dia berjanji,
kami tidak saling menautkan kelingking. Jadi, aku takut dia mengingkarinya.
Ayah tahu?
Nomor satu dalam daftar cita-cita kak Adib adalah membelikan ayah mobil supaya
ayah tak perlu mengayuh becak atau bersepeda ontel. Jika ayah membaca ceritaku
ini, pulanglah dan katakan pada Kak Adib untuk menepati janjinya. Sungguh aku
tak mau kehilangannya. Ayah kumohon pulanglah, kami sungguh merindukanmu.
Sangat merindukanmu.
:*TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar